Oleh: Abdullah Aziz Alaika, dan Aulia Afifa
Tercatat pada tanggal 12 Desember 2022, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean (PP 49/2022). Peraturan tersebut terbit sebagai bentuk penyesuaian pengaturan dalam pemberian kemudahan di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Terbitnya peraturan ini, memberikan angin segar bagi masyarakat terkait kejelasan mengenai pemajakan atas barang kebutuhan pokok. Isu terkait PPN atas barang kebutuhan pokok ramai dibicarakan saat terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Oktober 2021 silam. “Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; …” bunyi Pasal 16B ayat (1a) huruf j Bab IV Pajak Pertambahan Nilai, dinyatakan sebagai Barang Kena Pajak (BKP) yang diberikan fasilitas dibebaskan, yang semula masuk dalam negative list PPN. Pada saat itu, penjelasan pemberian fasilitas tersebut masih diberikan secara selektif dan terbatas tanpa memberikan detail pasti mengenai pengaturan lebih lanjutnya.
Barang kebutuhan pokok yaitu barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Adapun jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat meliputi: beras; gabah; jagung; sagu; kedelai; garam; daging; telur; susu; buah-buahan; dan sayur-sayuran. Pemerintah memutuskan untuk memindahkan barang kebutuhan pokok ke dalam kategori Barang Kena Pajak lantaran untuk perluasan basis PPN dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan dan asas kemanfaatan khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional.
Perluasan basis PPN ini ditengarai untuk memberikan keadilan bagi masyarakat dengan memfokuskan pada fungsi pajak yaitu redistribusi pendapatan. Berdasarkan data dari World Bank (2020), pada tahun 2018 jumlah penduduk upper class mengalami peningkatan sebesar 15,5% terhadap total populasi dari tahun 2002. Tentunya hal ini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan reformasi perpajakan yang tepat sebagai sarana dalam meningkatkan penerimaan negara seiring dengan tren demografi dan perubahan sosial-ekonomi penduduk. Semakin meningkatnya kemampuan sosial-ekonomi penduduk, semakin meningkat pula konsumsi yang dilakukan salah satunya konsumsi barang kebutuhan pokok. Oleh karena itu, perlu adanya penyesuaian pengaturan untuk mengakomodasi pemajakan atas konsumsi barang tersebut dengan menggolongkan barang kebutuhan pokok sebagai Barang Kena Pajak.
Dalam penetapannya sebagai barang kena pajak yang berlaku per tanggal 1 April 2022, barang kebutuhan pokok resmi ditegaskan menjadi salah satu barang kena pajak yang mendapatkan kemudahan PPN melalui PP 49/2022. Kemudahan PPN ini berupa adanya fasilitas dibebaskan yang dapat dimaknai bahwa tidak adanya pembayaran PPN pada saat impor dan/atau penyerahan. Hal ini menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat terkait konsumsi barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kemampuan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19 menjadi salah satu pertimbangan masyarakat dalam pemberian fasilitas ini.
PP 49/2022 juga memuat kriteria dan perincian barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang impor dan/atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Misal, pada daging, kriterianya termasuk daging segar dari hewan ternak dan unggas dengan atau tanpa tulang yang tanpa diolah, baik yang didinginkan, dibekukan, digarami, dikapur, diasamkan, atau diawetkan dengan cara lain.
Namun, perlu menjadi perhatian bersama bahwa pembebasan dari pengenaan PPN atas barang kebutuhan pokok bersifat sementara waktu atau selamanya sesuai Pasal 30 ayat (1) PP 49/2022. Dalam implementasinya, peraturan ini akan dievaluasi oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan dampaknya terhadap penerimaan negara. Dengan demikian, berdasarkan hasil evaluasi atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak berupa barang kebutuhan pokok dapat dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.