Oleh : Jody Pratama Pongtiku
Akhir-akhir ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menjadi sorotan publik. Pemberitaan negatif yang cukup masif terkait prosedur dan kebijakan Bea Cukai telah menciptakan gelombang reaksi di kalangan masyarakat. Permasalahan ini bukan hanya menarik perhatian warganet, tetapi juga menciptakan persepsi negatif terhadap instansi Bea Cukai. Di balik sorotan tersebut, muncul beberapa pertanyaan penting yang perlu kita jawab. Pertama, siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab atas situasi ini? Apakah ini sepenuhnya kesalahan Bea Cukai, atau ada faktor lain yang berperan? Kedua, bagaimana situasi ini bisa terjadi? Apakah ada celah dalam sistem atau kebijakan yang memungkinkan masalah ini muncul? Dan yang terakhir, solusi apa yang paling tepat untuk memecahkan masalah ini?
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sebagai lembaga yang memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, memiliki tugas dan fungsi yang sangat beragam. Sebagai Trade Facilitator, Bea Cukai bertugas memfasilitasi perdagangan internasional dengan memastikan kelancaran dan kecepatan proses impor dan ekspor barang. Sebagai Industrial Assistance, Bea Cukai berperan dalam membantu pertumbuhan industri dalam negeri melalui berbagai kebijakan yang mendukung. Sebagai Community Protector, Bea Cukai berfungsi melindungi masyarakat dari barang-barang ilegal dan berbahaya yang masuk ke Indonesia. Dan sebagai Revenue Collector, Bea Cukai memiliki tugas penting dalam mengumpulkan penerimaan negara dari bea masuk, cukai, dan pajak lainnya. Namun, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Bea Cukai sering kali dihadapkan pada tantangan dan kritik. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa kebijakan Bea Cukai terlalu kompleks dan menjadi penghambat bagi pertumbuhan industri. Kasus-kasus yang viral belakangan ini semakin menambah tekanan bagi Bea Cukai. Bagaimana kebijakan yang ditetapkan Bea Cukai dalam menjalankan tugas dan fungsinya?
Sebenarnya ketika membahas secara fundamental mengenai persyaratan dan karakteristik barang yang boleh masuk atau keluar, aturan tersebut bukanlah aturan yang dibuat langsung oleh Bea Cukai. Aturan tersebut justru dibuat oleh Kementerian/Lembaga terkait yang secara khusus mengatur barang tersebut. Misalnya untuk barang perdagangan diatur oleh Kementerian Perdagangan, identitas pada telepon genggam berupa IMEI oleh Kementerian Perindustrian serta Kementerian Komunikasi dan Informasi, serta senjata api oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lalu dari aturan-aturan ini dikembangkan dalam regulasi yang mengatur spesifik tentang karakteristik barang dan pengenaan bea atas barang tersebut serta prosedur identifikasi dan pengawasan yang dilakukan di lapangan.
Kasus sepatu yang harganya Rp.10 juta lalu terkena denda menjadi Rp.30 juta ini bermula ketika seorang warganet mengunggah video keluhannya terhadap Bea Cukai ke media sosial dikarenakan penetapan bea masuknya melebihi harga sepatu yang ia beli. Hal ini sontak menjadi bahan pembicaraan warganet. Dasar Bea Cukai dalam pengenaan tersebut terletak pada Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 yang mengatur bahwa setelah pemeriksaan pabean, jika nilai pabean yang ditetapkan menghasilkan kekurangan pembayaran bea masuk karena kesalahan dalam melaporkan nilai pabean dan Barang Kiriman berupa hasil transaksi perdagangan, importir harus melunasi kekurangan tersebut. Selain itu, importir juga akan dikenakan denda Administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Denda tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2008 s.t.d.t.d. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2019. Pada kasus ini, denda dikenakan akibat ketidaksesuaian nilai barang yang disampaikan oleh Perusahaan Jasa Titipan, dimana nilai barang dilaporkan jauh lebih rendah dari seharusnya, sehingga dikenakan bea masuk untuk kategori sepatu sebesar 30%, PPN sebesar 11%, PPh Impor sebesar 20%, serta sanksi administrasi sesuai PP tersebut. Ketidaksesuaian ini menimbulkan kecurigaan adanya dugaan pengelabuan dengan praktek under invoicing atau memberitahukan harga di bawah nilai transaksi agar dapat mengurangi bea masuk dan pajak impornya. Hal ini membuat barang impor tersebut lebih murah daripada barang produksi dalam negeri dan ini dapat mengancam industri dalam negeri.
Tentu ini tidak masuk akal jika diperhatikan. Namun, kejadian ini sebenarnya dapat dihindarkan dan justru bisa menjadi mudah dan sederhana jika kita telah mengetahui aturan dan prosedurnya. David Brendi, atau yang dikenal melalui kanal YouTube GadgetIn, pernah mengungkapkan proses pembelian iPhone 15 Pro dan iPhone 15 Plus yang ia ingin jadikan sebagai konten tinjauan barang elektronik yang sering dilakukannya. Ia juga mengemukakan berapa harga telepon genggam tersebut serta pajak berupa bea masuk, PPN, dan PPh 22 Impor yang perlu dibayarkan olehnya. Namun, ia tidak mengeluh atas tingginya biaya yang harus dia keluarkan. Dirinya mengaku sudah mengetahui dan sudah siap akan hal tersebut. Ia pun menambahkan proses yang dilaluinya sederhana. Bea Cukai juga sebenarnya telah memberikan konten edukasi melalui media sosial X mengenai tips belanja online dari luar negeri aman tanpa terkena sanksi administrasi. Jika ingin melakukan belanja online, pembeli wajib sampaikan dokumen pendukung ke pos atau ekspedisi jasa kiriman yang menangani paket mengenai informasi terkait impor barang kiriman. Selain itu, pembeli dapat menyampaikan beberapa informasi pendukung mulai dari barang apa yang kamu beli, berapa harganya, invoice, bukti transaksi, dan juga alamat situs pembelian.
Apa yang dilakukan Bea Cukai sebagai aparatur border protection atas lalu lintas barang impor dan ekspor ini merupakan mandat yang telah diberikan Negara melalui Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan suatu kelaziman internasional yang harus dilakukan oleh setiap negara yang berdaulat. Kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi para pembeli agar memahami terlebih dahulu mengenai peraturan yang berlaku sebelum melakukan pembelian barang dari luar negeri dan memastikan kembali invoice dari Perusahaan Jasa Titipan. Selain itu, ini juga menjadi evaluasi bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam meningkatkan pengawasan, memberikan edukasi dan pelayanan kepada masyarakat mengenai kepabeanan dan cukai.