Oleh: Salsabila Zera Pharresia dan Nabilla Luthfiana Putri
Dalam sepekan terakhir masyarakat Indonesia banyak mengeluhkan suhu panas yang tidak wajar. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat pada 17 April 2023 daerah Ciputat mengalami suhu tertinggi yaitu pada 37,2 derajat celcius. Fenomena kenaikan suhu menjadi lebih panas ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga di beberapa negara lain, bahkan di India cuaca yang panas ini mengakibatkan 13 orang meninggal. Suhu tertinggi di India mencapai 42 derajat celcius pada 18 April 2023.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa suhu bumi belakangan ini terasa lebih panas antara lain perubahan iklim, musim panas, urbanisasi, serta aktivitas manusia. Urgensi dari dampak perubahan iklim ini mendorong negara-negara di dunia termasuk Indonesia untuk berkomitmen secara bersama-sama mengurangi emisi gas rumah kaca yang bertujuan mengurangi dampak perubahan iklim. Perjanjian internasional tersebut dikenal dengan Paris Agreement yang merupakan kelanjutan dari Protokol Kyoto.
Emisi gas rumah kaca banyak dihasilkan pada proses produksi beberapa industri antara lain pada sektor energi, manufaktur, transportasi, dan pertambangan. Salah satu langkah yang dilakukan negara-negara di dunia untuk mengurangi eksternalitas negatif yang berupa emisi gas rumah yaitu dengan penerapan pajak karbon. Beberapa negara yang sudah menerapkan pajak karbon antara lain Swedia, Finlandia, Kanada, Norwegia, dan Selandia Baru.
Swedia merupakan salah satu negara pionir yang menerapkan pajak karbon yaitu pada tahun 1991. Pajak karbon yang diterapkan di Swedia dikenakan pada industri yang menggunakan bahan bakar fosil. Tarif pajak karbon yang dikenakan Swedia merupakan yang tertinggi di dunia yakni sebesar US$137 per-ton CO₂ ekuivalen. Dampak dari penerapan pajak karbon di Swedia berhasil menurunkan tingkat emisi karbon di negara tersebut meskipun tidak signifikan. Berdasarkan data dari penerimaan pajak OECD pada tahun 2019, Swedia mengumpulkan penerimaan dari pajak karbon sebesar US$2,3 miliar atau setara dengan 32,7 triliun rupiah. Penerimaan yang didapatkan dari pajak karbon kemudian digunakan untuk mendanai program pengurangan emisi dan proyek lingkungan lainnya.
Lalu bagaimana skema pajak karbon di Indonesia? Pajak karbon di Indonesia telah tertuang pada Pasal 13 Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan. Dijelaskan bahwa Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pada ayat 5 di pasal yang sama dijelaskan bahwa pajak karbon akan dikenakan terhadap orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Dalam penerapan Carbon Tax ada beberapa opsi Carbon Policy, opsi pertama adalah skema carbon tax yaitu seluruh emisi yang dihasilkan dikenakan pajak. Sedangkan yang kedua adalah cap and tax yaitu hanya emiter yang memproduksi emisi melebihi cap tertentu yang dikenakan pajak. Yang ketiga adalah opsi cap and trade, yaitu emiter yang memproduksi emisi melebihi cap diharuskan membeli dari emiter yang memproduksi emisi dibawah cap. Sedangkan bagi emiter yang memproduksi emisi melebihi cap namun tidak bisa trading keseluruhan kelebihan emisi, maka sisa emisi dikenakan tax. Indonesia sendiri memilih opsi kedua, yaitu Cap and Tax, yang merupakan jalan tengah antara Carbon Tax dan Cap-And-Trade yang lazim diterapkan di beberapa negara. Apabila menganut skema cap and tax, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Skema inilah yang akan diterapkan di sektor PLTU batu bara mulai 1 April 2022, menurut Arifin Tasrim, Menteri ESDM.
Namun, sampai saat ini penerapan pajak karbon masih tertunda karena menunggu mekanisme pasar karbon. Pajak Karbon direncanakan akan diterapkan pada 2025. Pajak karbon di Indonesia diharapkan dapat menurunkan dampak emisi gas rumah kaca serta membantu perusahaan-perusahaan untuk menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan dalam proses produksi. Selain itu, penerimaan negara yang akan diperoleh dari pajak karbon diharapkan dapat digunakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim melalui kegiatan-kegiatan yang ramah lingkungan.