Oleh: Abdullah Aziz Alaika dan Nur Rahmawati
TikTok adalah sebuah platform media sosial yang diciptakan oleh ByteDance, sebuah perusahaan teknologi China pada tahun 2016. Seperti yang dilaporkan oleh CNN Indonesia pada 19 September 2023, TikTok saat ini menduduki peringkat pertama sebagai aplikasi yang paling populer dengan lebih dari 54 juta unduhan di App Store dan Play Store. Selain memungkinkan pengguna untuk berbagi video pendek dan kreatif, TikTok juga memperkenalkan fitur baru bernama TikTok Shop pada pertengahan 2021. Fitur ini memungkinkan pengguna untuk memasarkan dan menjual produk mereka langsung melalui aplikasi TikTok.
Walaupun TikTok Shop disambut baik oleh pecinta belanja, ada juga keluhan yang muncul dari beberapa pihak. Mereka mengklaim bahwa TikTok Shop telah berdampak negatif terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Hal ini karena produk yang dijual di TikTok Shop dihargai sangat murah, bahkan dianggap tidak sebanding dengan barang serupa yang dijual oleh penjual lokal baik di toko fisik maupun di platform e-commerce lainnya. Kontroversi TikTok Shop berlanjut hingga Pemerintah Indonesia akhirnya mengumumkan penutupan resmi TikTok Shop pada tanggal 4 Oktober 2023.
Keputusan tersebut muncul sebagai hasil dari perubahan dalam kebijakan pemerintah Indonesia yang memisahkan antara platform media sosial dan aktivitas e-commerce, sesuai dengan revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. TikTok, dalam konteks ini, hanya memiliki izin operasi sebagai platform media sosial, bukan sebagai platform e-commerce di Indonesia. Oleh karena itu, TikTok hanya diizinkan untuk melakukan aktivitas promosi produk yang dijual melalui platform media sosial TikTok, bukan aktivitas jual beli. Tujuan dari langkah ini adalah untuk melindungi data pribadi pengguna dari dimanfaatkannya dalam aktivitas bisnis.
Dalam hal perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak menyatakan bahwa TikTok telah ditetapkan sebagai pemungut PPN PMSE (Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) sejak tanggal 7 Agustus 2020. Dengan demikian, TikTok telah mengenakan pajak kepada penggunanya melalui layanan periklanan. Namun, Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Direktorat Jenderal Pajak menekankan bahwa PPN yang dikenakan dan dilaporkan oleh TikTok hanya berlaku untuk layanan periklanan, bukan untuk transaksi e-commerce.
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sejatinya merujuk pada kegiatan perdagangan ayng melibatkan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik untuk pelaksanaan transaksi, sesuai dengan yang tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Sedangkan pelaku usaha yang menyediakan infrastruktur komunikasi yang digunakan dalam proses perdagangan disebut dengan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
PPN PMSE dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Berdasarkan hal tersebut maka pemanfaatan BKP tidak berwujud berupa produk digital dan JKP berupa jasa digital akan dikenakan PPN sebesar 11% dari dasar pengenaan pajak. Dasar pengenaan pajak tersebut berupa uang yang dibayar oleh Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa kepada PPMSE, tidak termasuk PPN yang dipungut.
Namun, tidak semua PPMSE melakukan pemungutan PPN. Terdapat kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi Pemungut PPN PMSE berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2020 tentang Batasan Kriteria Tertentu Pemungut serta Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yaitu:
- Nilai transaksi di Indonesia melebihi Rp600.000.000,00 dalam 1 tahun atau Rp50.000.000,00 dalam 1 bulan; dan/atau
- Jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12.000 dalam 1 tahun atau 1.000 dalam 1 bulan.
Atas pungutan PPN yang dilakukan oleh Pemungut PPN PMSE, perlu diterbitkan commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen lain yang sejenis. Dokumen tersebut merupakan bukti pungutan PPN yang dapat dipersamakan kedudukannya dengan Faktur Pajak. Pemungut PPN PMSE selanjutnya memiliki kewajiban untuk menyetorkan pajak yang telah dipungut paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Sedangkan terkait kewajiban pelaporan, dapat dilaksanakan secara triwulanan paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir.
Dengan demikian, pemajakan atas transaksi melalui sistem elektronik ini dilakukan lantaran untuk menjaga kesetaraan perlakukan perpajakan yang melibatkan pelaku usaha konvensional dengan pelaku usaha yang bergerak dalam ekonomi digital di dalam maupun luar negeri. Apabila ditinjau dari sisi kepastian hukum maka PPN PMSE menjadi pijakan yang kuat untuk pemajakan atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean melalui perdagangan melalui sistem elektronik. Namun, kebijakan pemajakan PMSE perlu untuk dikembangkan lebih lanjut lantaran kebijakan pemajakan saat ini baru memfokuskan pada konsumen yang notabene merupakan masyarakat Indonesia yang memanfaatkan produk dan/atau jasa digital. Sedangkan dari sisi pelaku usaha, pendapatan yang diterima oleh pelaku usaha khususnya PPMSE luar negeri belum diatur lebih lanjut terkait Pajak Penghasilan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPh PMSE), yang mana dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 telah mengatur perlakukan perpajakan atas PMSE terbagi atas pungutan PPN dan PPh.