Milenial Mau Punya Rumah? Sudah Tahu Apa Saja Kewajiban Perpajakannya?

Oleh: Asya Annisa Silkapianis, Alda Fredlina

Dewasa ini tentunya banyak milenial yang sudah memikirkan untuk membeli rumah baik sebagai tempat tinggal maupun sebagai instrumen investasi. Harga sewa yang terus meningkat, faktor spekulasi, kebutuhan keluarga, serta adanya pandangan tertentu dari masyarakat terkadang menjadi dorongan bagi milenial untuk mulai mempertimbangkan opsi kepemilikan properti. Tak jarang pula banyak yang menggunakan opsi pembayaran secara kredit (KPR) demi dapat memiliki rumah. Hal ini menunjukkan bahwa bagi sebagian orang kepemilikan properti merupakan suatu prioritas hingga rela membelinya secara kredit.

Lantas, apakah teman-teman milenial yang sedang mempertimbangkan untuk membeli rumah sudah mengetahui apa saja kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi untuk dapat membeli rumah? Apakah iming-iming free BPHTB, PPN, yang biasa ditawarkan oleh developer benar-benar free? Dan apakah harga yang ditawarkan oleh developer yang memberikan promo free biaya-biaya perpajakan merupakan harga asli rumah? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita simak penjelasan di bawah ini untuk mengetahui apa saja sebenarnya kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi dalam transaksi jual-beli properti dan siapa pihak yang menanggung beban pajak tersebut.

  1. Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat (2) yang ditanggung Penjual

Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan penjual dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 (PP 34/2016), tarifnya diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Sebesar 1% (satu persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana.
  • Sebesar 2,5% (dua koma lima persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana.
  • Sebesar 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan kepada pemerintah, BUMN yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau BUMD yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. 
  1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang ditanggung Pembeli

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), BPHTB merupakan pajak daerah yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. Tarif BPHTB adalah 5% dari harga transaksi/nilai pasar yang dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).  Dalam UU HKPD, nilai NPOPTKP ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah dengan nilai kepemilikan tanah dan/atau bangunan pertama paling rendah sebesar Rp80.000.000 (delapan puluh juta rupiah).

  1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditanggung Pembeli

Pada dasarnya, PPN terutang saat Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP). Hal ini tentunya tidak terkecuali pula dengan rumah. Rumah pada hakikatnya merupakan BKP, sehingga dalam penyerahan rumah yang dilakukan oleh PKP terutang PPN sebesar 11% dari harga jual. Namun, terdapat pula penjualan rumah yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022) yang merupakan tindak lanjut dari UU HPP. Penyerahan rumah susun umum milik (Rusunami) yang perolehannya dibiayai melalui kredit/pembiayaan kepemilikan rumah bersubsidi yang memenuhi persyaratan sebagaimana disyaratkan dalam PP 49/2022 penyerahannya dibebaskan dari PPN. Rusunami bisa menjadi opsi bagi teman-teman milenial untuk mendapatkan hunian dengan harga yang lebih terjangkau, terlebih lagi penyerahannya dibebaskan dari PPN.

  1. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang ditanggung Pembeli

Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 s.t.d.d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, PPnBM sejatinya adalah pajak yang dikenakan atas barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat-masyarakat tertentu, bukan dikategorikan sebagai barang kebutuhan pokok, dikonsumsi hanya oleh masyarakat yang memiliki penghasilan tinggi, dan digunakan/dikonsumsi untuk menunjukkan kelas/status sosial. Barang mewah yang dimaksud dalam Undang-Undang ini juga termasuk kelompok hunian mewah yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2021 s.t.d.d. PMK Nomor 15/PMK.03/2023. Kriteria hunian mewah yang dikenakan PPnBM adalah rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp30.000.000.000 (tiga puluh miliar rupiah) atau lebih. Tarif PPnBM yang dikenakan untuk hunian mewah tersebut adalah sebesar 20%.

  1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas Barang yang tergolong Sangat Mewah yang ditanggung Pembeli

Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 s.t.d.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.03/2019, Wajib Pajak Badan tertentu memiliki kewajiban untuk memungut PPh Pasal 22 dari pembeli atas pembelian barang yang dikategorikan sebagai sangat mewah, termasuk juga hunian yang tergolong mewah. Hunian mewah yang dimaksud adalah rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp30.000.000.000 (tiga puluh miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 400m²  (empat ratus meter persegi), serta apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp30.000.000.000 (tiga puluh miliar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 150m² (seratus lima puluh meter persegi). PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Wajib Pajak Badan adalah sebesar 1% (satu persen) dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM. Seperti PPh Pasal 22 lainnya, pajak yang sudah dipungut dapat dimasukkan sebagai pengurang/kredit pajak Wajib Pajak pada akhir tahun.

Setelah kita pelajari, kewajiban perpajakan yang perlu dipenuhi dalam transaksi jual-beli rumah memang terlihat cukup banyak. Namun, sebagaimana hakikat pajak yang berlandaskan asas keadilan, pemerintah memberikan keringanan kewajiban perpajakan dengan memberikan pembebasan PPN untuk hunian tertentu yang ditargetkan untuk masyarakat yang membutuhkan hunian subsidi. Selain itu, PPnBM dan pemungutan PPh Pasal 22 hanya diterapkan untuk penyerahan hunian yang tergolong mewah, yang tentunya hanya dikenakan pada masyarakat menengah atas. Dengan demikian, pendapatan pajak dari golongan yang memiliki purchasing power lebih tinggi dapat kembali diredistribusi kepada masyarakat menengah ke bawah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Selain itu, dengan mengetahui siapa sebenarnya pihak-pihak yang menanggung beban pajak dapat menjadikan calon pembeli menjadi lebih bijak dalam menentukan pilihan. Sejatinya, BPHTB dan PPN merupakan pajak yang memang ditanggung oleh pembeli. Maka dari itu, perlu dipertanyakan kembali apakah harga jual rumah yang ditawarkan oleh developer yang mengiming-imingi free BPHTB dan PPN merupakan harga rumah sebenarnya yang tercantum dalam Akta Jual Beli (AJB), atau harga tersebut memang sudah termasuk biaya BPHTB dan PPN dan hanya sekadar trik marketing untuk dapat menarik pelanggan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *