15 Hari Saja, Pajak Orang Pribadi Dikembalikan

Oleh: Abdullah Aziz Alaika, Prisceilla Bungaswara

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia terus melakukan pembaruan dan perbaikan sistem perpajakan negeri dalam rangka efisiensi dan efektivitas bisnis perpajakan serta dampak positifnya kepada masyarakat. Salah satu upaya yang baru saja diluncurkan pada tahun 2023 adalah kemudahan proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2023. Kemudahan tersebut dimanifestasikan dalam penyederhanaan proses restitusi 15 hari kerja saja, awalnya 12 bulan.

Peraturan yang diundangkan pada 9 Mei 2023 lalu ini memberikan kemudahan pada Wajib Pajak Orang Pribadi sesuai ketentuan yang tertera pada Pasal 17B dan 17D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dengan jumlah lebih bayar maksimal Rp 100 juta yang kemudian disertai permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai aturan restitusi. 

Secara sederhana, skema percepatan restitusi ini dimulai sejak Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus Lebih Bayar disampaikan secara lengkap. Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi memilih mekanisme pengembalian berdasarkan Pasal 17B dan 17D UU KUP maka akan diproses dengan mekanisme Pasal 17D UU KUP. Dalam kurun waktu 5 hari kerja, SPT tersebut diproses dengan pembuatan pemberitahuan bahwa akan ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) dan Surat Permintaan Rekening.

Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi bersedia dan tidak menyampaikan penolakan atas mekanisme restitusi Pasal 17D UU KUP maka proses akan dilanjutkan dengan penerbitan SKPPKP yang menjadi dasar untuk pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Namun, apabila Wajib Pajak tidak berkenan dan menyatakan penolakannya atas mekanisme pengembalian pendahuluan maka akan diproses dengan pemeriksaan dengan waktu penyelesaian paling lambat 12 bulan sejak SPT diterima secara lengkap.

Hal menarik lebih lanjut dari peraturan ini adalah adanya relaksasi sanksi administrasi. Apabila setelah diberikan pengembalian pendahuluan pajak dan dilakukan pemeriksaan lalu ditemukan kekurangan pembayaran pajak maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebanyak 100% dari pajak yang kurang dibayar. Namun, atas hal tersebut diberikan pengurangan berdasarkan Pasal 36 ayat 1 huruf (a) UU KUP sehingga sanksi yang dikenakan ke Wajib Pajak menjadi lebih rendah, hanya sebesar sanksi Pasal 13 ayat (2) UU KUP.  

Tentunya dengan terbitnya aturan ini, menjadikan cita-cita pemerintah dalam menaikkan peringkat Ease of Doing Business bisa tercapai, dari yang semula berada pada posisi 73 sesuai data yang dilansir dari World Bank tahun 2020. Aturan ini akan mengkatalis proses perputaran kas dan likuiditas perekonomian di Indonesia. Selain aspek kecepatan layanan yang dicapai dari aturan ini, namun juga aspek legalitas, keadilan, dan kemudahan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya melalui perputaran ekonomi yang aktif.

Proses pembaruan peraturan perpajakan ini juga dilakukan untuk menjamin akuntabilitas dan penyalahgunaan wewenang karena dilakukan dengan metode pengurangan intervensi dan tatap muka antara Wajib Pajak dan Petugas Pajak karena sistem perpajakan yang sekarang diarahkan untuk mengikuti digitalisasi zaman sehingga dilaksanakan berbasis elektronik. Tentunya inovasi ini, tidak hanya menguntungkan bagi Wajib Pajak namun bagi DJP dan pemerintah Indonesia dalam upayanya untuk memberikan layanan yang terbaik dalam bidang perpajakan dan meningkatkan indeks pembayaran pajak akibat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *